Lapis Lazuli

Archive of Matvey

19 tahun, Jakarta.

Argi terdiam di halte bus dengan kedua telinga terhalang headphone dengan kabel yang tersambung pada iPod tuanya.

Ia baru saja berusia 19 tahun, tepat tanggal 7 Agustusㅡtepat sudah setahun lamanya ia berpijak di ibu kota. Sendirian dan hujan tak kunjung beri tanda untuk berhenti. Kedua sepatunya basah, begitu juga beberapa bagian jaket yang memeluknya erat.

Jakarta orang bilang kotanya begitu kecil, tapi di mata Argiano begitu besar. Begitu membingungkan untuk dijelajahi, sebab acapkali langkahnya diiringi rasa takut akan tanggung jawab yang mungkin tak dapat dipenuhinya.

“Rokok, Mas?” Orang di sebelahnya bertanya, Argi perlu lepaskan pengeras suaranya itu sambil menggelengkan kepala 'tuk tolak tawaran.

“Makasih, Mas,” ucapnya, tanpa menerima sebatang rokok pun. Menerima sesuatu dari orang asing sungguh membuatnya takut, terutama di tengah-tengah kota yang bisa terjadi tindak kejahatan kapan pun.

Balik ke dirinya yang berusia 18 tahun dalam benak, terlintas bagaimana ia beri antusias berlebih pada kepindahannya ke kota dengan ratusan gedung pencakar langit dan polusi bukan majn. Mulanya, ia menginginkan dan berakhir mempertanyakan keinginannya sendiri.

Apakah ini yang namanya sebuah keinginan, bukan kebutuhan?

Memang, apa yang kau butuhkan, Argi?

Ia menggigiti kukunya tanpa sadar, beri tanda bahwa ia tak baik-baik saja, walau sekadar pikiran berlebihan yang mungkin akan hilang esok hari.

“Mas nunggu apa? Bus? Angkot?” Tanya melayang kepadanya, buatnya lepas dari pikirannya sejenak.

“Nunggu reda saja, Pak,” jawabnya jujur.

Karena ia tidak punya tujuan; mungkin pulang? Mungkin ia ingin berlari-lari ke pusat perbelanjaan? Mungkin ia ingin berlari di alun-alun? Atau mungkin ... ia ingin bermain air di pantai?

Entahlah.

Padahal dengan mudah ia berada di Jakarta, tak sejauh itu dari rumah, tapi kesempatan kabur dari yang mereka sebut rumah tak mungkin disiakannya.

Sekarang mau ke mana?

Argiano membenci waktu yang berjalan begitu cepat. Baru saja menginjak 17 tahun, kemudian 18 tahun sudah menghampiri, tahu-tahu sudah 19 tahun.

Kok ada orang yang mau cepat dewasa? Cepat untuk lihat hari esok dengan harap ada hari bahagia menyambut? Sedangkan si pemuda Purnama itu berharap hari esok tak menjemput, kalau bisa tidak pernah ada.

SMP, SMA, lalu bangku kuliah.

Adakah yang berubah, selain keinginan dirinya kembali ke usia ... berapapun asal tidak mengenal dunia.

Ciao Bella.

Hey, my love.

Sepertinya ada yang melupakan ulang tahunmu. Tidak lain, tidak bukan, sepertinya adalah aku sendiri.

Maafkan aku kalau sedikit melupakannya karena perihal tanggal sepertinya selalu bercampur aduk dan aku akan mengurangi bermain-main dengan waktu sepertinya.

Aku memberi beberapa hadiah untukmu, tidak tahu mana yang kau suka dan tidak kau suka. Jika kau memang tak menyukainya, kau bisa mengembalikannya kepadaku dan memberikan yang kau suka, bagaimana?

I'll wait for you at my place, if you want to.

Semenjak Tuhan kita berbeda, even I hate Poseidon that much, please, I wish he didn't know about this letter.

Happy Birthday, from Myung-shi.

Buat Nyanya

dari Argi,

Happy birthday, Nyanya! Maafin, Argi telat ngasih selamat ulang tahun buat kamu. Padahal gak lupa sama sekali, salahin UTS-nya.

Gimana hari-hari kamu? Kamu masih suka 'kan kerja di toko bunga, walau aku gangguin terus?

Aku gak ada yang bisa diucapin, soalnya aku jelek banget sama kata-kata. Jadi mau doain kamu yang baik-baik saja, kalau dikabulin atau enggak itu urusan Tuhan. Tapi, di sini Argi bantu buat hari Nyanya lebih baik.

Sayang Nyanya, Argi ganteng.

P.S. dari Rasya: Argi itu gi-nya gila kayaknya, Nya.

Happy Birthday

Hai, Nyanya.“ “Ini Rasya. Aku mau spill ceritanya Argi nyari kado buat kamu.”


20 November 2021

“Cha, bangsat, bangun, Cha.”

Hari itu Sabtu, yang harusnya cerah. Sayangnya, hari yang cerah itu harus tergantikan dengan teriakan Argi di siang bolong untuk bangunkan Rasya dari tidurnya. Mereka memang teman satu indekos dan sudah mempercayai kunci serep satu sama lain, tapi lelaki itu tidak menyangka akan digunakan Argi untuk masuk ke kamarnya dan membangunkannya dari mimpi indah.

“Katanya lu mau nemenin gua beli kado?” tanya Argi, tanpa merasa bersalah setelah melihat Rasya celingak-celinguk habis bangun dengan pasrah.

“Ya, gak sekarang jugalah, gua lagi tidur.” Rasya melemparkan bantal tepat di muka sahabat SMA-nya yang satu itu.

“Kapan lagi?” Argi berkacak pinggang, “Keburu hujan?”

“Iya, iya deh, tapi gua gak akan mandi ya?” ancam Rasya.

“Ya, elu gak mandi saja sudah bau surga, Cha.”

“Sa ae lu, onderdil supra.”


Dan begitulah kenapa Rasya harus menemani Argi menjadi budak cinta dari orang yang Rasya gak pernah kenal. Terakhir kali Argi punya pacar kayaknya SMP? Sisanya? Hanya mengangumi seseorang di balik layar komputernya alias karakter gim atau animasi Jepang. Makanya, sedikit terheran (dan agak takjub juga) melihat sosok Argi rela mondar-mandir di pusat perbelanjaan dengan semangat, biasanya paling loyo.

“Menurut lu gua harus beliin apa?”

“Siapa? Yang lu panggil Nyanya Nyanya itu?” tanya Rasya sambil melihat toko di kanan dan di kirinya.

“Hm,” jawabnya singkat, “kan gak mungkin gua beliin Gundam set. Nanti makin terlihat bau bawangnya gua.”

Rasya tertawa, menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu dengan dendam (“Habisnya dia bangungin gua, kan emosi.”).

“Kepikiran yang lain?”

“Sweater? Selimut bayi?”

Rasya menepuk dahinya sendiri, punya teman yang otaknya perlu dipertanyakan kadang-kadang buat frustasi, “Kenapa selimut bayi?”

“Dia lucu kayak bayi,” jawab Argi membela diri, “kayak nih ya, kalau misalnya lihat dia tuh bawaannya ingin menggulung dia pakai selimut biar hangat.”

“Emangnya dia anak kucing?”

“Iya.” Argi nyengir lebar, “Kucing galak.”

Rasya berdoa dalam hati agar Argi ditobatkan secepatnya.


Memilih sweater membutuhkan waktu agak lama. Karena katanya bingung Nyanya suka sweater yang seperti apa. Yang berakhir, ia membeli satu hoodie dan satu sweater─agak meleset dari perkiraan.

“Kok jadi beli dua baju?” Dengan penuh rasa penasaran, maka Rasya bertanya. Karena setahu dirinya, Argi hanya berniat membeli satu baju saja.

“Gak bisa, Cha,” keluh Argi, “tiap lihat baju ini itu keingat dia mulu. Makanya kalau satu doang gak cukup. Jadi, sekalian dua deh. Gak mungkinkan gua beli satu tokonya?”

Setelah membayar, mereka kembali berlalu lalang kembali. Sedangkan, Rasya masih dengan rasa penuh tanya apa yang membuat seorang Nyanya bisa menaklukan seorang Argi yang lebih milih makhluk 3D akhirnya dibandingkan istri-istri dua dimensinya.

“Dipelet kali ya,” gumam Rasya, ditepuk pelan dari belakang oleh Argi.

“Sembarang.”

“Habisnya lu kok mau ngabisin duit lu yang lu tabung beli figure baru buat dia?” Jelas itu mengundang tawa bagi Argi dan yang jangkung gelengkan kepala.

“Nabung bisa besok lagi, Cha,” jelasnya, memeluk erat kantong plastik yang berisi baju yang akan ia berikan. Wajahnya super duper sumringah, “Lagi pula, kalau sayang sama orang bakal beda. Termasuk elu, kalau lu ada urgensi, gua juga pasti usahain bantu lu, 'kan?”

Rasya paham kenapa Argi berpikir demikian, tapi dalam hati jadi sedikit khawatir model begini mudah dimanfaatkan. Berakhir, hanya menghela napas, “Ya sudah, selama lu senang, gua bisa apa sih.”

Ya, kebahagiaan sahabat nomor satu bagi Argi dan itu juga berlaku untuk Rasya.

(“Sayang Argi, tapi ada no homo-nya.“)


“Habis ini mau ke mana lagi? Serius nyari selimut?”

Argi memberhentikan kegiatannya mengunyah kentangnya. Setelah keliling-keliling yang malah jadi cuci mata, mereka membutuhkan asupan energi bernama makan siang (dan ini karena mereka juga meninggalkan makan pagi mereka).

“Ya, iya? Iya gak ya?” Argi masih menimbang dalam ucapannya, entah dia ragu dengan apa yang akan ia beli atau meminta saran dari Rasya yang mengaduk-ngaduk es teh manisnya.

“Ya beli weh atuh.” Rasya mengeluarkan logat Sundanya seketika.

“Bingung.” Argi mencebik bibir, “Nanti ditanyain lagi, oh buat anaknya ya, Mas? gitu.”

Tak bisa tahan tawanya, habis sudah seisi food court pusat perbelanjaan itu dengan gelegar dari Rasya. Humornya sereceh dan semeresahkan itu, jadi maklumi saja. Dirinya sendir hampir menyemburkan minumnya pada Argi, kalau dia tidak ingat temannya sendiri.

“Ya, enggaklah.”

“Ya, siapa tahu, anjir?”

(“Buat Nyanya, kasihan banget kamu harus kenal modelan Argi.”)


“Iya, ini saja, Mbak.”

“Buat keponakannya, Mas?”

Rasya menahan tawanya ketika mereka berdua tengah di kasir dan Argi sudah memilih selimut bayi yang ia inginkan. Argi mengerjap tandakan mencerna pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

“Oh, ya, ya, buat keponakan, Mbak.” Tanpa sadar, Argi ingin menyelesaikan cepat proses pembelian, tanpa ditanya lebih lanjut.

Tapi, tidak dengan otak setan Rasya, “Gak, Mbak, itu buat pacarnya.”

“Hehe, makasih ya, Mbak.”

Habis itu Rasya kena headlock.


“Sudah nih, balik gak?”

“Bentar, ada yang lucu.” Emang ya, Argi nih kalau sudah masuk ke pusat perbelanjaan tidak ada remnya, semua digas.

Si pemuda Purnama itu memasuki toko mainan, menarik. Rasya pikir, Argi akan membeli waifu baru untuk dikoleksi dan dipajang di meja belajarnya. Nyatanya, ia membeli boneka serigala─apa anjing ya?

“Boneka apa tuh?”

Reversible doll, kebetulan mata gua melihat ada yang bentukannya guguk.”

“Lah? Katanya mirip kucing si doi? Yang mirip guguk 'kan elu?” Si Rasya mulai-mulai deh sewot.

“Nah itu dia, biar dia ingat gua tujuannya.”

“Nista.”

(“Nya, sumpah ya, Nya. Kalau gua punya nomor telpon lu, udah gua suruh menjauh dari Argi. Nih orang alien banget.”)


Kamis, 25 November 2021

“Mau ikut gak, Cha?”

“Mana lagi, Gusti Allah.”

“Beli kue.”

“Gak ah, nanti hati ini iri gak ada obat.”

“Besok gua cariin pacar.”

“Ogah.”

“Nanti gua kenalin ke mas-mas fotokopian yang ganteng.”

“Deal.”


Tiramisu akhirnya menjadi tujuan akhir pencarian, setelah bingung bolak-balik mencari kue yang tepat. Entahlah kenapa si sohib memilih rasa kue tersebut. Tapi, rasa penasarannya ditahan sampai Argi memberikan satu paket burger hemat McDonalds dan keduanya duduk santai.

“Gua masih ga habis pikir deh, Gi.”

“Soal?” Argi masih tak tahu apa yang ditanyakan Rasya─keingintahuan lelaki Gemini gak perlu diragukan kayaknya.

“Iya, soal Nyanya. Gua gak pernah ketemu dan apa yang ngebuat elu sebucin ini?” Jelas, pertanyaan dari Rasya membuat Argi mengernyit.

“Gak, siapa bilang gua bucin?” Balik Argi bertanya.

“Ya, lu bisa lihat sendirilah.” Rasya gak mau kalah, tetapi percuma saja berbicara dengan Argi perihal begini. Lelaki itu tidak akan pernah paham dirinya sendiri (sejauh ini sudah berteman terlalu lama, butuh penyadaran diri).

“Hm, gak sih. Lagian gua berusaha.”

Decak resah dari Rasya bisa terdengar jelas, “Coba-coba maksud lu?”

“Ya, gak lah, tolol.” Kalau dari nada bicara Argi, Rasya bisa paham jika Argi serius. Iya, serius lemparin kentang gorengnya ke arah Rasya, raut wajahnya pun tidak bisa lagi disembunyikan seberapa ia tidak menyukai pembicaraan ini, “Lagi Rana bukan makanan, ngapain dicoba-coba?”

“Tapi, lu makan dia 'kan?” Benar, pertanyaan lain yang diutarakan Rasya terdengar tambah bodoh dan tidak masuk di akal, sengaja.

“Cha, gua udah temenan sama elu lama banget nih ya, please banget, sebelum gua jual motor lu.”

Rasya cekikik di tempat, mengangkat bahu. Setidaknya ia tahu Argi serius dan menurutnya, kalau serius artinya sudah tahu konsekuensi apa yang akan dihadapi. Sebagai seorang sahabat, tugasnya hanya memantau, bukan untuk ikut campur.

“Ya sudah, yang penting lu seneng aja.”

“Jual motornya?”

“Bukan, goblok.”


Dan begitulah, cerita perjuangan seorang Argiano, si mahasiswa tingkat akhir yang masih dikejar-kejar oleh bayang-bayang senior yang memintanya mengurusi karangan bunga untuk wisuda.


Kalau dia meresahkan, Nya. Balikin saja.“ “Balikin kayak pindang, terus gebukin saja.

PUNGGUNG

Dengan sudut pandang orang ketiga.


Punggung.

Ashaya tidak pernah tahu apa rasanya berjalan dengan kedua orang tua di kedua sisi. Bukan kedua orang tuanya tak lengkap, tapi apa guna jika di panggung kemenangannya pun, orang tuanya tak ada di sisinya. Ia selalu melihat punggung mereka, berjalan di belakang dengan wajah menunduk.

Papa sama Mama kamu tuh hebat, harusnya kamu bangga.“ “Orang lain belum tentu punya orang tua kayak kamu.

Benar, belum tentu orang memiliki orang tua yang tak pernah menengok ke arahnya, acuh. Kalau ditanya anak siapa, Ashaya tidak tahu apakah ia harus berbangga diri, “Itu loh Papaku yang pemilik perusahaan material yang itu.

Rasanya gatal kalau ia bisa dengan lantang banggakan sosok bapak yang tak pernah membimbingnya. Apa semua orang merasakan apa yang ia rasakan? Tidak tahu, Ashaya tak sempat berpikir lebih lanjut. Tak lepas dari tanya kepada Teteh ihwal sosok Papa, “Dulu Papa kayak gimana?”

Menikah di usia muda tak pernah muda, begitu kata Teteh. Papa menikahi Mama seselesainya dunia kampus mereka, 22 tahun. Katanya sih bukan pilihan tepat, lalu apakah artinya kelahirannya juga sebuah kesalahan. Ashaya tak ingin menjawab, tahu pun cuma menyakiti dirinya sendiri.

“Kapan aku bisa berada di tengah, berjalan bersama. Tidak ada yang mendahului, tidak ada yang tertinggal?”

Percuma ia bertanya, jawabannya sudah jelas.

Jelas tidak ada.

TENTANG AKU

Dengan sudut pandang orang pertama.


2021.

Namaku Ashaya Sukma Riyadi, dilahirkan di Bandung tanggal 9 Februari 2004. Umurku baru saja menginjak 17 tahun, jelas aku sudah mengantongin KTP-ku. Tidak boleh ada yang mengatakanku anak kecil lagi sehabis ini. Aku dibesarkan di Bogor bersama tanteku yang merupakan adik bungsu Papa, mungkin sebagian hidupku memang bergantung pada Teteh. Benar, aku memanggilnya Teteh.

Keluarga utamaku hanya terdiri dari tiga orang. Papa, Mama, dan aku sendiri. Benar, aku adalah anak tunggal dan tidak ada rencana nampaknya akan memiliki saudara. Papaku, Cahyanto Riyadi, merupakan pria asal Surakarta yang menjadi pengusaha barang mentah elektronik. Sebab itulah, beliau acapkali tidak ada di rumah karena mengurusi ini-itu, hobinya memang mondar-mandir keluar kota dan negeri. Sedangkan mamaku namanya Riani Ardiani, teman kampus Papa yang paling cantik kata Papa. Mama juga wanita karir, ia merupakan pengrajin pakaian yang sering tidak ada di rumah karena harus buka butik sana sini, euh, dan tetek bengek lainnya.

Papa dan Mama tidak mengurusiku mungkin sejak usiaku lima atau enam tahun? Entahlha, tak ingat pastinya. Yang kutahu adalah aku tidak begitu sering bertemu dengan mereka, sesekali hanya via telepon untuk menanyakan kabar dan basa basi, mengharapkan anaknya masih hidup.

Tetehlah yang selama ini membantu aku tumbuh, walau usia kami hanya terpaut 16 tahun, Teteh ini adalah tante paling keren yang akan buat iri semua orang. Teteh memiliki nama, Winara Riyadi, kalau sepupuku yang lain mungkin memanggilnya Bude Nara. Cuma aku yang nampaknya memanggilnya Teteh, padahal Teteh tuh orang Jawa, hehe. Ya itu, mungkin karena kami berdua habiskan waktu lama di Bogor.

Kayaknya tiap aku bagi rapor, Tetehlah yang mengambil raporku. Pokoknya kalau nilaiku jelek, dia yang marah deh! Kalau Papa sama Mama boro-boro, kayaknya mau tahu nilaiku saja tidak. Oh iya, aku juga ada Bibi yang suka bantu di rumah kalau Teteh gak bisa. Cuma karena aku sudah besar sekarang dan Teteh kerjanya kadang di rumah, Bibi cuma datang sesekali.

Aku juga di rumah dikasih supir dari kantor Papa, Mang Yadi namanya. Mang Yadi ini sudah lama mengabdi di keluarga Riyadi, bahkan sebelum aku lahir. Sekarang sih kayak supir pribadinya aku kalau mau jajan ke Jakarta, Mang Yadi gak pernah nolak.

Aku sekarang SMA kelas 12 di SMAN 3 Bogor ambil jurusan IPA. Aku sedikit kaget pertama kali masuk sekolah negeri, karena aku semenjak SD hingga SMP berada di sekolah Regina Pacis Bogor, sebuah sekolah swasta di tengah kota (beneran di tengah kota, di depan Istana Bogor!).

Aku suka banget sama namanya Matematika, tapi gak mau masuk jurusan yang banyak berhitungnya. Niatnya aku mau masuk Sastra dan Budaya UI, tapi soal ini aku masih ngobrolin sama Bang Karta sama Bang Ram. Oh iya, Bang Karta dan Bang Ram ini adalah teman-teman yang sering kudatangi kalau ke Jakarta. Mereka pasti punya kejutan tiap kali aku berkunjung, kayak banyak suprise-nya.

( Nanti aku ceritakan lagi perihal Bang Karta dan Bang Ram. )

Aku sejauh ini belum tahu mau jadi apa, cuma kepikiran aku mau jadi guru soalnya kata teman-temanku aku pintar ngajarin orang, apalagi aku bawel!

Temanku termasuk banyak, tapi gak begitu dekat. Cuma itu sudah cukup, karena temanku bilang aku orangnya memang banyak diamnya kalau gak dekat, tapi sabar banget deh kalau sudah nempel. Terus katanya aku sayang disayangkan gak ikut OSIS, tapi emang aku gak mau sih, soalnya aku ingin pulang bebas gak berkegiatan, biar bisa ngelayap keluar kota sampai subuh, hehe ( Jangan diikuti! ).

Orang ga suka saja kalau aku suka musik Korea atau Jepang, katanya aneh. Padahal keren! Mereka gak terbuka sama hal-hal begini apa ya? Hallo, ini 2021! Kadang orang juga tidak menerima aku yang kadang terbuka pada hal-hal tabu, yah, gak apa, aku juga gak mendengar celoteh mereka kok.

Apalagi ya ... aku jadi gak tahu mau ngomong apalagi.

Mungkin sampai di situ dulu deh, mungkin aku nulis lagi kalau kepikiran mau membahas apa.


Sekian dari ASHAYA.

P.S. : Kata Teteh, kalau aku bisa nulis 1000 kata, aku dapat Big Mac dua paket.