Happy Birthday
“Hai, Nyanya.“ “Ini Rasya. Aku mau spill ceritanya Argi nyari kado buat kamu.”
20 November 2021
“Cha, bangsat, bangun, Cha.”
Hari itu Sabtu, yang harusnya cerah. Sayangnya, hari yang cerah itu harus tergantikan dengan teriakan Argi di siang bolong untuk bangunkan Rasya dari tidurnya. Mereka memang teman satu indekos dan sudah mempercayai kunci serep satu sama lain, tapi lelaki itu tidak menyangka akan digunakan Argi untuk masuk ke kamarnya dan membangunkannya dari mimpi indah.
“Katanya lu mau nemenin gua beli kado?” tanya Argi, tanpa merasa bersalah setelah melihat Rasya celingak-celinguk habis bangun dengan pasrah.
“Ya, gak sekarang jugalah, gua lagi tidur.” Rasya melemparkan bantal tepat di muka sahabat SMA-nya yang satu itu.
“Kapan lagi?” Argi berkacak pinggang, “Keburu hujan?”
“Iya, iya deh, tapi gua gak akan mandi ya?” ancam Rasya.
“Ya, elu gak mandi saja sudah bau surga, Cha.”
“Sa ae lu, onderdil supra.”
Dan begitulah kenapa Rasya harus menemani Argi menjadi budak cinta dari orang yang Rasya gak pernah kenal. Terakhir kali Argi punya pacar kayaknya SMP? Sisanya? Hanya mengangumi seseorang di balik layar komputernya alias karakter gim atau animasi Jepang. Makanya, sedikit terheran (dan agak takjub juga) melihat sosok Argi rela mondar-mandir di pusat perbelanjaan dengan semangat, biasanya paling loyo.
“Menurut lu gua harus beliin apa?”
“Siapa? Yang lu panggil Nyanya Nyanya itu?” tanya Rasya sambil melihat toko di kanan dan di kirinya.
“Hm,” jawabnya singkat, “kan gak mungkin gua beliin Gundam set. Nanti makin terlihat bau bawangnya gua.”
Rasya tertawa, menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu dengan dendam (“Habisnya dia bangungin gua, kan emosi.”).
“Kepikiran yang lain?”
“Sweater? Selimut bayi?”
Rasya menepuk dahinya sendiri, punya teman yang otaknya perlu dipertanyakan kadang-kadang buat frustasi, “Kenapa selimut bayi?”
“Dia lucu kayak bayi,” jawab Argi membela diri, “kayak nih ya, kalau misalnya lihat dia tuh bawaannya ingin menggulung dia pakai selimut biar hangat.”
“Emangnya dia anak kucing?”
“Iya.” Argi nyengir lebar, “Kucing galak.”
Rasya berdoa dalam hati agar Argi ditobatkan secepatnya.
Memilih sweater membutuhkan waktu agak lama. Karena katanya bingung Nyanya suka sweater yang seperti apa. Yang berakhir, ia membeli satu hoodie dan satu sweater─agak meleset dari perkiraan.
“Kok jadi beli dua baju?” Dengan penuh rasa penasaran, maka Rasya bertanya. Karena setahu dirinya, Argi hanya berniat membeli satu baju saja.
“Gak bisa, Cha,” keluh Argi, “tiap lihat baju ini itu keingat dia mulu. Makanya kalau satu doang gak cukup. Jadi, sekalian dua deh. Gak mungkinkan gua beli satu tokonya?”
Setelah membayar, mereka kembali berlalu lalang kembali. Sedangkan, Rasya masih dengan rasa penuh tanya apa yang membuat seorang Nyanya bisa menaklukan seorang Argi yang lebih milih makhluk 3D akhirnya dibandingkan istri-istri dua dimensinya.
“Dipelet kali ya,” gumam Rasya, ditepuk pelan dari belakang oleh Argi.
“Sembarang.”
“Habisnya lu kok mau ngabisin duit lu yang lu tabung beli figure baru buat dia?” Jelas itu mengundang tawa bagi Argi dan yang jangkung gelengkan kepala.
“Nabung bisa besok lagi, Cha,” jelasnya, memeluk erat kantong plastik yang berisi baju yang akan ia berikan. Wajahnya super duper sumringah, “Lagi pula, kalau sayang sama orang bakal beda. Termasuk elu, kalau lu ada urgensi, gua juga pasti usahain bantu lu, 'kan?”
Rasya paham kenapa Argi berpikir demikian, tapi dalam hati jadi sedikit khawatir model begini mudah dimanfaatkan. Berakhir, hanya menghela napas, “Ya sudah, selama lu senang, gua bisa apa sih.”
Ya, kebahagiaan sahabat nomor satu bagi Argi dan itu juga berlaku untuk Rasya.
(“Sayang Argi, tapi ada no homo-nya.“)
“Habis ini mau ke mana lagi? Serius nyari selimut?”
Argi memberhentikan kegiatannya mengunyah kentangnya. Setelah keliling-keliling yang malah jadi cuci mata, mereka membutuhkan asupan energi bernama makan siang (dan ini karena mereka juga meninggalkan makan pagi mereka).
“Ya, iya? Iya gak ya?” Argi masih menimbang dalam ucapannya, entah dia ragu dengan apa yang akan ia beli atau meminta saran dari Rasya yang mengaduk-ngaduk es teh manisnya.
“Ya beli weh atuh.” Rasya mengeluarkan logat Sundanya seketika.
“Bingung.” Argi mencebik bibir, “Nanti ditanyain lagi, oh buat anaknya ya, Mas? gitu.”
Tak bisa tahan tawanya, habis sudah seisi food court pusat perbelanjaan itu dengan gelegar dari Rasya. Humornya sereceh dan semeresahkan itu, jadi maklumi saja. Dirinya sendir hampir menyemburkan minumnya pada Argi, kalau dia tidak ingat temannya sendiri.
“Ya, enggaklah.”
“Ya, siapa tahu, anjir?”
(“Buat Nyanya, kasihan banget kamu harus kenal modelan Argi.”)
“Iya, ini saja, Mbak.”
“Buat keponakannya, Mas?”
Rasya menahan tawanya ketika mereka berdua tengah di kasir dan Argi sudah memilih selimut bayi yang ia inginkan. Argi mengerjap tandakan mencerna pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.
“Oh, ya, ya, buat keponakan, Mbak.” Tanpa sadar, Argi ingin menyelesaikan cepat proses pembelian, tanpa ditanya lebih lanjut.
Tapi, tidak dengan otak setan Rasya, “Gak, Mbak, itu buat pacarnya.”
“Hehe, makasih ya, Mbak.”
Habis itu Rasya kena headlock.
“Sudah nih, balik gak?”
“Bentar, ada yang lucu.” Emang ya, Argi nih kalau sudah masuk ke pusat perbelanjaan tidak ada remnya, semua digas.
Si pemuda Purnama itu memasuki toko mainan, menarik. Rasya pikir, Argi akan membeli waifu baru untuk dikoleksi dan dipajang di meja belajarnya. Nyatanya, ia membeli boneka serigala─apa anjing ya?
“Boneka apa tuh?”
“Reversible doll, kebetulan mata gua melihat ada yang bentukannya guguk.”
“Lah? Katanya mirip kucing si doi? Yang mirip guguk 'kan elu?” Si Rasya mulai-mulai deh sewot.
“Nah itu dia, biar dia ingat gua tujuannya.”
“Nista.”
(“Nya, sumpah ya, Nya. Kalau gua punya nomor telpon lu, udah gua suruh menjauh dari Argi. Nih orang alien banget.”)
Kamis, 25 November 2021
“Mau ikut gak, Cha?”
“Mana lagi, Gusti Allah.”
“Beli kue.”
“Gak ah, nanti hati ini iri gak ada obat.”
“Besok gua cariin pacar.”
“Ogah.”
“Nanti gua kenalin ke mas-mas fotokopian yang ganteng.”
“Deal.”
Tiramisu akhirnya menjadi tujuan akhir pencarian, setelah bingung bolak-balik mencari kue yang tepat. Entahlah kenapa si sohib memilih rasa kue tersebut. Tapi, rasa penasarannya ditahan sampai Argi memberikan satu paket burger hemat McDonalds dan keduanya duduk santai.
“Gua masih ga habis pikir deh, Gi.”
“Soal?” Argi masih tak tahu apa yang ditanyakan Rasya─keingintahuan lelaki Gemini gak perlu diragukan kayaknya.
“Iya, soal Nyanya. Gua gak pernah ketemu dan apa yang ngebuat elu sebucin ini?” Jelas, pertanyaan dari Rasya membuat Argi mengernyit.
“Gak, siapa bilang gua bucin?” Balik Argi bertanya.
“Ya, lu bisa lihat sendirilah.” Rasya gak mau kalah, tetapi percuma saja berbicara dengan Argi perihal begini. Lelaki itu tidak akan pernah paham dirinya sendiri (sejauh ini sudah berteman terlalu lama, butuh penyadaran diri).
“Hm, gak sih. Lagian gua berusaha.”
Decak resah dari Rasya bisa terdengar jelas, “Coba-coba maksud lu?”
“Ya, gak lah, tolol.” Kalau dari nada bicara Argi, Rasya bisa paham jika Argi serius. Iya, serius lemparin kentang gorengnya ke arah Rasya, raut wajahnya pun tidak bisa lagi disembunyikan seberapa ia tidak menyukai pembicaraan ini, “Lagi Rana bukan makanan, ngapain dicoba-coba?”
“Tapi, lu makan dia 'kan?” Benar, pertanyaan lain yang diutarakan Rasya terdengar tambah bodoh dan tidak masuk di akal, sengaja.
“Cha, gua udah temenan sama elu lama banget nih ya, please banget, sebelum gua jual motor lu.”
Rasya cekikik di tempat, mengangkat bahu. Setidaknya ia tahu Argi serius dan menurutnya, kalau serius artinya sudah tahu konsekuensi apa yang akan dihadapi. Sebagai seorang sahabat, tugasnya hanya memantau, bukan untuk ikut campur.
“Ya sudah, yang penting lu seneng aja.”
“Jual motornya?”
“Bukan, goblok.”
Dan begitulah, cerita perjuangan seorang Argiano, si mahasiswa tingkat akhir yang masih dikejar-kejar oleh bayang-bayang senior yang memintanya mengurusi karangan bunga untuk wisuda.
“Kalau dia meresahkan, Nya. Balikin saja.“ “Balikin kayak pindang, terus gebukin saja.“