PUNGGUNG
Dengan sudut pandang orang ketiga.
Punggung.
Ashaya tidak pernah tahu apa rasanya berjalan dengan kedua orang tua di kedua sisi. Bukan kedua orang tuanya tak lengkap, tapi apa guna jika di panggung kemenangannya pun, orang tuanya tak ada di sisinya. Ia selalu melihat punggung mereka, berjalan di belakang dengan wajah menunduk.
“Papa sama Mama kamu tuh hebat, harusnya kamu bangga.“ “Orang lain belum tentu punya orang tua kayak kamu.“
Benar, belum tentu orang memiliki orang tua yang tak pernah menengok ke arahnya, acuh. Kalau ditanya anak siapa, Ashaya tidak tahu apakah ia harus berbangga diri, “Itu loh Papaku yang pemilik perusahaan material yang itu.“
Rasanya gatal kalau ia bisa dengan lantang banggakan sosok bapak yang tak pernah membimbingnya. Apa semua orang merasakan apa yang ia rasakan? Tidak tahu, Ashaya tak sempat berpikir lebih lanjut. Tak lepas dari tanya kepada Teteh ihwal sosok Papa, “Dulu Papa kayak gimana?”
Menikah di usia muda tak pernah muda, begitu kata Teteh. Papa menikahi Mama seselesainya dunia kampus mereka, 22 tahun. Katanya sih bukan pilihan tepat, lalu apakah artinya kelahirannya juga sebuah kesalahan. Ashaya tak ingin menjawab, tahu pun cuma menyakiti dirinya sendiri.
“Kapan aku bisa berada di tengah, berjalan bersama. Tidak ada yang mendahului, tidak ada yang tertinggal?”
Percuma ia bertanya, jawabannya sudah jelas.
Jelas tidak ada.